Parau Mentari Senja





Ini jurnal lain dari sisi hari - hari saya. mencoba menyederhanakan parau jiwa dan pemikiran tanpa harus kehilangan esensi keimanan. Tarian gemulai hari yang terus menepis bibir bibir retorika, ketika saya dan beberapa sahabat - sahabat terbaik terus menikmati arus juang mempelai mempelai langit yang berarak bersama singasana harapan dan perlawanan. Dan pertama kali yang kami lawan adalah kecongkakan hidup terutama yang bersandar dalam diri saya sendiri...

Menarik, setelah perjalanan saya di penuhi ribuan konfrontasi dari panorama rumusan rumusan tesis versus anti tesis. Prajurit prajurit berkuda cita - cita dan berpedang argumentasi offensive, yang lebih banyak saya temukan dalam kerangka atom atom dialektika beradu etika tentang pencarian aljabar sintesa dari jalan keluar dilema, yang ujungnya setiap sisi dinding dinding ruang akan tetap berdiri pada posisinya. Tanpa harus menunggu belukar merayap dalam kejujuran. Karena sampai kapanpun, kita akan mudah membaca kepalsuan hanya karena satu hal...ketika kita tidak mampu mengenali kelemahan diri kita sendiri maka jangan pernah berpikir ada jalan keluar bagi sebuah peradaban yang besar dan mulia yang kini direnteti kuantitas massa dan jumlah slogan.

Pada hari di mana gemericik burung burung pagi mengajarkan kami tentang arti semangat. Untuk terus bergerak tanpa gembar gembor layaknya infotaimen dalam bingkai seminar seminar yang isinya penuh cerita, dari warna warni gurauan tentang pendapat dan sudut pandang. Maka kami lebih memilih pilihan untuk menghindar. Menghindar menuju gelap yang menutup jejak, menghindar seperti angin yang meniupkan pasir diatas jejak jejak kaki kami di gurun pasir. Lalu mencoba bisa meninggalkan beberapa gelas air minum bagi setiap gelandangan yang kami lewati, lalu berusaha sekuat tenaga meninggalkan beberapa bungkus nasi bagi anak - anak pengamen di setiap perempatan lampu merah. Dan terus bersayat pahatan pahatan mentari yang telah mendidik kami untuk berhenti bicara...seakan dia berkata

"Mengapa Engkau masih disitu? tidak kamu lihat anak yang tertidur di ujung tikungan itu? tidak bisakah kau merasakan laparnya dia? tidak bisa hari ini kau bagikan kenyangmu untuknya? bahkan menukar itu tanpa imbalan apapun? tidak bisa kau buktikan sebuah perkataanmu?"

Lambaian pohon menyapa semangat, daun daun berguguran disekitarku. Namun hari sepertinya terlalu berapi api untuk kusia siakan. Karena nafasku berkata

"Sahabat aku masih disini menemani jiwamu...aku masih disini diizinkan Pencipta kita untuk berjalan bersama...lalu mengapa kita harus berkata kalah terlalu cepat?"


Rotasi jam, detaknya menusuk dalam bagaikan busur panah dari tangan para malaikat. bahwa hari ini engkau bergerak atau tidak, malaikan akan tetap mencatat. Bahwa hari ini kau berdiri atau tidak malaikat akan tetap mencatat. Bahwa hari ini kau tidak berjalan..tapi kematian tetap berjalan menghampirimu. Menggerogoti umurmu detik perdetik, menit permenit, waktu ke waktu, bulan per bulan dan tahun ke tahun.

Dan parau mentari senja adalah kegagahan dari kejujuran hidup. Ketika mereka terjaga dalam keseimbangan, seperti mereka dirawat dalam rotasi tanggung jawab. Maka dari situ saya belajar tentang resonansi dialektika. Dimana saya memilih menjadi anjing daripada menjadi iblis bertopeng manusia. Dan disitulah pembuktian akan menemukan prosesnya dalam sebuah tesis sederhana bernama Istiqomah...

Istiqomah berawal dari kejujuran akan keterbatasan, Istiqomah adalah syair dari kekuatan hati yang luas. Istiqomah adalah sayap perubahan, Istiqomah adalah kekuatan yang akan melahirkan ragam efek bagi orang sekelilingnya karena ia tidak berkata, tapi ia berbuat dan melakukan dengan hasil yang jelas. dan itulah salah satu dinding dari artileri bernama kekuatan jati diri.